Mari kenali diri kita


be the best whatever you are
if you can’t be a pine on the top of the hill,
be a scrub in the valley, but be
the best little scrub by the side of the rill;
be a bush if you can’t be a tree.
if you can’t be a bush be a bit of the grass,
and some highway happier make;
if you can’t be a muskie then just be a bass
but the liveliest bass in the lake!

Dipopulerkan oleh Martin Luther King

Salam. Apa kabar kawan? mudah-mudahan baik.
Alhamdulillah, kemarin saya sudah mulai menulis lagi, dan hasilnya dapat di posting hari ini. Sudah hampir satu caturwulan saya tidak menulis, waktu yang cukup lama untuk berhibernasi. Ada seorang yang kini menjadi sumber inspirasi, kedamaian, dan kekuatan.
Kebahagiaan yang membuncah rupanya telah terlalu mengaktivasi sistem limbik kepala saya yang mengatur emosi dan perasaan sehingga menghambat kinerja neo-korteks. Saya kini percaya apa yang dibilang Bang Rhoma, “Cinta itu sungguh me..ma..bu..kan..!”.
Kalau dalam studi tentang sistem kita belajar bahwasanya suatu sistem yang berubah dari satu keadaan ke keadaan yang lain akan mengalami dua periode yaitu; transient, di mana sistem berubah dan yang kedua ialah steady-state (keadaan tunak) di mana sistem sudah berada di kondisi baru yang stabil. Maka rupanya saya mengalami periode transient dalam kondisi yang disebut dengan “underdamped” yaitu kondisi sistem yang tidak stabil, berosilasi hingga ia mencapai steady state-nya.
 Baiklah catatan saya hari ini terinspirasi dari tempat nongkrong saya malam-malam di Rumah Kopi. Warung kopi yang juga menjual inspirasi. Pelayanannya excellent; penjual ramah penuh senyum, tempat duduk luas dan bersih, serta ekstra cepat. 
Mari kita mulai, pernah ada di benak saya bahwa kesuksesan hidup diukur dari karya, prestasi, penghargaan, pencapaian, ucapan terima kasih, atau bahkan gelar kepahlawanan. Betul bahwa menjadi orang besar, menjadi seseorang yang dikenang bisa menjadi motivasi yang kuat bagi kita untuk bekerja keras dan berusaha. Obsesi menjadi pahlawan ibarat kafein yang akan membuat kita terus tersadar dalam perjalanan menyeret langkah demi langkah. Tapi hati-hati kawan, semua itu bisa menjadi jebakan betmen yang tiba-tiba harus membuat kita merestart hidup.
Satu kekeliruan yang saya sadari sekarang ialah mengukur kesuksesan dengan parameter-parameter objektif yang kasat mata. Padahal setiap orang telah diciptakan dengan qadar yang berbeda-beda. Setiap orang tidak akan dibebankan melainkan menurut kesanggupannya. Ketakwaan pun tidak ada yang standar untuk semua orang, bagi setiap orang ketakwaan ialah “fattaqullaha mastatha’tum” bertakwalah menurut kesanggupanmu. Dan saat dihisab nanti kita akan diminta pertanggung jawaban masing-masing. Sendiri-sendiri sesuai dengan amal yang dihitung di atas ruang hisab masing-masing yang berbeda untuk tiap jiwa.
Apakah menjadi anggota DPR lebih berharga dari sekedar menjadi tukang racik kopi? Jika menjadi anggota DPR hanya membuat orang kesal karena arogansinya dan miskin empati. Jika menjadi anggota DPR hanya menjadi bahan lelucon yang memalukan karena kekurangkompetenannya. Jika menjadi anggota DPR menjadi fitnah yang membuatnya bergelimang harta haram dari suap, gratifikasi, dan perkoncoan. Jika menjadi anggota DPR membuat lidahnya beracun seperti ular dengan janji-janji palsu. Maka menjadi anggota DPR adalah suatu hal yang hina. Rendah. Mengerikan sekali. Celaka dunia akhirat.
Adapun tukang racik kopi itu tiap malam menyediakan kopi yang halal dan baik bagi makhluk-makhluk penikmatnya. Memberikan pelayanan dan kebermanfaatan, menggembirakan banyak orang dengan pelayanannnya yang tulus dan ramah. Lalu dari keringatnya ia bisa menafkahi keluarga sehingga Istri dan anaknya ridha. Dan semua itu dilakukan sepanjang hidupnya dengan niat yang ikhlas serta tidak melalaikan kewajiban shalat lima waktu maupun zakat dari perniagaannya. Tukang racik kopi ahli surga insya Allah. Selamat dunia akhirat.
Sungguh Allah tidak akan melihat manusia dari harta dan rupanya. Melainkan dari hati dan perbuatannya. Barangsiapa dalam hatinya selalu rindu kepada kebenaran dan kebaikan, maka hidupnya akan berakhir dalam keadaan yang baik. Apakah menjadi seorang pejuang yang mati di medan laga akan lebih mulia daripada seorang pelacur yang bertaubat? Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ada yang mati berjihad di membela agama dan Allah mencampakannnya ke neraka. Tapi ada seorang pelacur yang masuk surga karena Allah ridha atas amalnya memberi minum anjing yang hampir mati kehausan.
Mari kenali terus diri kita. Sesungguhnya ilmu dari segala ilmu ialah ma’rifat kepadaNya. Dan salah satu jalan berma’rifat kepada Allah ialah dengan berma’rifat kepada diri sendiri. Seperti yang disampaikan oleh Ali karamallahu wajhah; 

Man arafa nafasaha arafa rabbaha..
Barang siapa mengenal dirinya ia akan mengenal Tuhannya 

Setiap kita dilahirkan di tempat tertentu. Perjalanan hidupnya khas. Isi kepalanya tidak ada yang sama. Setiap dari kita unik. Dan Allah telah menganugerahi nikmat yang berbeda-beda. Kita diciptakan dengan kondisi yang terbaik untuk diri masing-masing. Andai ada yang dilahirkan tanpa organ tubuh yang lengkap tetap itu adalah kondisi yang terbaik baginya. Karena nikmat Allah berbeda-beda, pun ujiannya. Di atas itu semua Allah maha adil. Manusia lah yang bodoh dan sombong sehingga mengatakan Tuhan tidak adil.
Maka bersyukurlah atas semua yang telah kita lalui dan dapatkan. Minta ampun atas nikmat yang kita sia-siakan. Hadapi hidup dengan penuh kebahagiaan. Karena bukan “Saya bahagia maka saya bersyukur”, melainkan “Saya bersyukur maka saya bahagia”. Bukan “Karena saya sukses maka saya gembira”, tapi “saya gembira maka saya sukses”. Demikian kata-kata istri saya yang selalu saya ingat.
Jadilah saja diri kita sebaik-baiknya. Terus beramal dan kenali diri. Jangan terkena jebakan betmen dengan menjadikan apa yang sarana sebagai tujuan di mimpi-mimpi kita. Sebab parameter kesuksesan yang sejati dan objektif hanya dua; pertama, menjadi hamba Allah yang baik, dan kedua menjadi khalifah di muka bumi dengan segala peran dan ukurannya. Jika peran kita “hanya” menjadi seorang budak, jadilah budak terbaik seperti Bilal bin Rab’ah. Jika peran kita “hanya” menjadi seorang pembantu, jadilah pembantu terbaik seperti Zaid bin Haritsah.

Mari mengenal diri kita
Kalau engkau tak mampu menjadi beringin, yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau
Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan
Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil, jalan yang membawa orang ke mata air
Tidaklah semua orang harus menjadi kapten, tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi, rendah, nilai dirimu, 
tetapi sikap, cara, dan tindakanmu dalam menyelesaikannya yang menjadi pembeda dengan orang lain.

(Hr Sop: Di tulis di Rumah Kopi)