Mekanika kuantum di kalangan fisikawan dikenal sebagai salah satu cabang dari fisika modern. Cabang lainnya adalah mekanika relativistik. Gabungan kedua teori tersebut melahirkan teori medan kuantum yang sangat berhasil untuk menerangkan fenomena fisika benda-benda sangat kecil seperti misalnya atom dan bagian-bagiannya yang lebih kecil lagi.
Akhir-akhir ini fisika modern itu dikenal di kalangan umum dengan julukan fisika baru. Ini dipicu oleh buku THE TAO OF PHYSICS (1976) karangan fisikawan Fritjof Capra. Dalam buku ini, Capra menunjukkan kesejajaran antara deskripsi para mistikus Timur tentang realitas dengan deskripsi fisikawan Barat modern tentang realitas kuantum.
Tentu saja hal ini menggemparkan dunia intelektual Barat. Soalnya, menurut kebanyakan ilmuwan, agama, apalagi mistisisme, adalah sesuatu yang subyektif dan, karenanya, sama sekali di luar obyektifitas sains. Karena itu, mencampur adukkan konsep-konsep dari kedua bidang pengetahuan itu adalah suatu yang ganjil kalau tidak dapat dikatakan tabu. Fritjof Capra melanggar tabu itu dan memperoleh keuntungan material dengan larisnya buku tersebut.
Itulah sebabnya menjamurnya buku-buku yang mengkaitkan fisika baru dengan agama-agama ketimuran yang segera menjadi buku-buku baku bagi penganut gerakan keagamaan Zaman Baru yang cenderung menghayati agama secara subyektif dan sinkretis lepas dari kelembagaan agama-agama yang resmi.
Tentunya hal itu menimbulkan reaksi keras di kalangan agamawan formal yang cenderung mengkafirkan penganut gerakan Zaman Baru yang marak di tahun 80-an itu. Tetapi untunglah arus bawah pemikiran budaya tandingan itu kini mulai muncul di permukaan aliran pemikiran Barat kontemporer sehingga kosakata fisika kuantum akhirnya memperkaya khazanah pemikiran teologis Barat.
Salah satu tokoh yang mempopulerkan fisika kuantum sebagai paradigma pembaruan pemikiran kebudayaan yang bersifat holistik adalah Danah Zohar seorang murid perempuan dari David Bohm sang fisikawan kuantum kondang dari Inggris yang terkenal karena pandangannya yang merombak dogma positivisme yang banyak dianut oleh ilmuwan Barat pada umumnya.
Strategi Danah Zohar berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Fritjof Capra. Jika Capara menitik beratkan uraiannya dengan kesejajaran psikologi mistik Timur, yang langka dan asing itu, dengan fisika modern Barat, maka Zohar justru menohok langsung ke pengalaman sehari-hari manusia awam.
Dia tidak menunjukkan sekedar kesejajaran, tapi dia justru mencoba menerangkan fenomena kejiwaan dengan fisika kuantum, walaupun secara kualitatif saja. Itulah yang dilakukannya dengan menulis dan menerbitkan THE QUANTUM SELF (1991). Ujung dari uraiannya yang menawan dalam buku ini adalah bab terakhir yang berjudul The Quantum World-view. Bab ini adalah mahkota bagi bab sebelumya yang berjudul The Quantum Vacuum and The God Within.
Dalam bab ini, Danah Zohar tampaknya mencoba menyerasikan pandangan kuantum dengan pandangan teologis agama-agama resmi dunia Barat. Dengan bab ini dia berharap konotasi negatif bahwa pandangan kuantum hanya cocok bagi kaum antikemapanan seperti gerakan Zaman Baru dapat dihilangkan.
Soalnya, jika alergi para agamawan terhadap serbuan virus pikiran bernama kuantum itu tidak ditanggulangi, maka kesempatan pandangan kuantum untuk memecahkan persoalan-persoalan sosial-budaya modern yang dibawa oleh globalisasi pandangan materialisme mekanistik Barat akan lenyap dari pentas sejarah masa depan.
Padahal, pergeseran paradigmatik fisika biasanya justru mendorong reformasi total diberbagai kehidupan. Contohnya adalah pandangan mekanistik fisika klasik Newton yang merombak struktur sosial dan budaya feodalistik Eropa abad pertengahan dan melahirkan peradaban Barat modern yang kini sedang menghadapi krisis.
Salah satu pergeseran paradigmatik itu adalah pergeseran paradigma teologis yaitu pandangan konseptual manusia tentang Tuhan dan penciptaan. Perubahan pandangan ketuhanan ini mengikuti perubahan pandangan manusia tentang hakekat alam semesta dan hakekat kesadaran manusia yang dibawa oleh revolusi kuantum.
Revolusi kuantum memang dahsyat karena dia telah melahirkan komputer dan internet yang jantungnya adalah mikroprosesor yaitu kumpulan jutaan transistor dalam satu cip. Namun bagi Zohar yang penting bukanlah revolusi teknologis yang dibawanya, tetapi revolusi filosofis yang digaungkannya dibidang-bidang keilmuan lainnya.
Inti dari bab teologis buku Zohar ini adalah kenyataan bahwa menurut pandangan kuantum bahwa vakum atau kehampaan itu bukanlah kosong sama sekali tetapi penuh dengan energi murni walaupun tak ada partikel ataupun medan fisik satupun di dalamnya.
Lautan energi tak berhingga ini justru mengandung riak-riak kecil, atau fluktuasi kemunculan dan lenyapnya partikel , yang oleh satu dan lain hal pada satu saat salah satu riak itu menggelombang dan menggelembung membentuk semesta raya yang kita huni sekarang ini. Awal penggelembungan itu lah yang sekarang kita kenal sebagai fenomena Big Bang atau Dentuman Besar yang mengawali terciptanya jagat raya.
Bagi Zohar, ketiadaan partikel dan medan dalam vakum ini menyebabkan vakum mempunyai karakteristik yang serupa dengan karakteristik kuantum cahaya yaitu sejenis partikel boson. Padahal, pada bab-bab sebelumnya dia mencoba meyakinkan pembaca bahwa kesadaran manusia terletak pada proses kondensasi Bose-Einstein yang terjadi pada sel-sel syaraf otak manusia.
Kondensasi Bose-Einstein adalah peristiwa menyerasinya atau koherensi semua gelombang keberadaan suatu partikel boson. Peristiwa itu terjadi misalnya pada pada gelombang cahaya yang kita kenal sebagai sinar laser.
Kesamaan karakteristik ini menyebabkan Zohar menghipotesakan adanya kesadaran semesta yang dimiliki oleh vakum. Oleh karena itu dia menganggap kesadaran setiap manusia tak lain daripada pancaran kesadaran semesta vakum tersebut. Soalnya, kesadaran manusia bagi Zohar tak lain dari pada kondensasi foton pada sel-sel saraf di otak manusia.
Bagi Zohar, kesadaran manusia adalah suatu sistem kompleks yang terbentuk melalui suatu proses yang sangat panjang yang dikenal sebagai evolusi biologis. Evolusi biologis sendiri merupakan kelanjutan dari proses yang jauh lebih panjang yaitu evolusi kosmologis. Sedangkan evolusi kosmologis bermula pada suatu peristiwa yang dikenal sebagai dentuman besar atau big bang diikuti oleh ekspansi ruang semesta.
Pada akhirnya peristiwa big bang itu sendiri berasal dari fluktuasi vakum yang memunculkan dua jenis partikel elementer yaitu fermion dan boson yang masing-masing dijuluki sebagai batu bata materi dan batu bata kesadaran.
Jika vakum merupakan kesadaran semesta dan kesadaran individual manusia sebagai peristiwa kuantum adalah puncak evolusi sebagai pancaran kesadaran vakum, maka tentunya esensi kehidupan biologis makhluk bukan manusia juga merupakan proses kuantum juga. Memang begitu keyakinan Zohar.
Soalnya, justru penemuan Frohlich tentang adanya kondensasi Bose Einsten dalam sel-sel organisme yang menyebabkan ia percaya bahwa peristiwa yang sama terjadi pada sel-sel saraf di otak manusia. Keyakinannya yang lain lain adalah tentang pentingnya fenomena kuantum dalam proses evolusi.
Seperti kita ketahui, ada dua mekanisme dasar evolusi yaitu variasi atau peragaman acak dan seleksi atau penyaringan alamiah. Esensi dari peragaman itu adalah keacakan dan ini, bagi Zohar, tak beda dengan esensi keadaan sistem mikroskopik menurut mekanika kuantum. Sedangkan esensi penyaringan alamiah adalah pemilihan, oleh lingkungan, satu ragam dari banyak ragam yang mungkin.
Ini tak beda dari proses pemilihan satu keadaan kuantum dari banyak keadaan yang mungkin dalam proses pengukuran sistem kuantum. Kombinasi dari ketakpastian dan kepastian kuantum itulah yang menurut Zohar merupakan esensi dari proses kesadaran manusia.
Kalau fluktuasi vakum, dentuman besar, evolusi jagatraya, evolusi biologis dan proses kesadaran manusia adalah satu kesinambungan dan kesatuan, maka di mana letak Tuhan dalam visi kuantum yang dijajakan Danah Zohar ini? Di sinilah letak revolusi teologis yang ditawarkan Zohar. Irama antara ketidakpastian dan kepastian dalam waktu yang mendasari semua proses disebut terdahulu itu tidak lain dan tidak bukan, menurut Zohar, adalah intisari dari kreativitas Tuhan Yang Maha Pencipta.
Dentuman besar adalah awal dari proses kreasi. Proses evolusi dari yang kosmologis hingga yang psikologis adalah kelanjutan dari proses Kreasi Ilahiah itu sendiri. Dengan sendirinya proses sejarah manusia sebagai bagian dari proses evolusi semesta juga merupakan proses Ilahiah.
Dengan visi kuantum yang teologis ini Tuhan bersifat imanen. Pandangan ini bukanlah pandangan baru. Banyak para mistikus dari berbagai agama meyakininya. Banyak para filosof mencoba memberikan landasan rasional logis bagi keyakinan ini. Bahkan beberapa diantara para penemu fisika modern itu sendiri, seperti misalnya Albert Einstein, meyakininya. Namun, seperti kita ketahui, pandangan ini kebanyakan ditentang oleh para pemuka agama formal terutama dalam tradisi keagamaan Ibrahimiah.
Apa yang diajukan oleh Zohar ialah kenyataan bahwa pandangan imanensi teologis tidak dapat dihindarkan jika kita mau menerima kebenaran ilmiah yang diberikan oleh fisika kuantum. Dan, bagi Zohar, keyakinan ini tak bertentangan dengan pandangan transendensi teologis. Kedua pandangan teologis itu bukan saling bertentangan tetapi saling lengkap-melengkapi, seperti halnya pandangan gelombang dan pandangan partikel sama-sama benarnya untuk sistem-sistem mikroskopis
Dengan visi teologi kuantum yang holistik ini, Zohar menolak hilangnya individualitas dalam realitas mutlak seperti yang sering dikesankan oleh para mistikus dalam pandangan-pandangannya. Begitu pula ia menolak larinya individu dari realitas sosial seperti yang dikesankan oleh para mistikus dalam praktek-prakteknya.
Individu dan masyarakat adalah aspek-aspek yang komplementer seperti halnya partikel dan gelombang dalam realitas kuantum. Individu itu bagaikan fermion dan hubungan sosial itu bagaikan boson.yang menghubungkan satu fermion dengan fermion lainnya.
Oleh karena itu visi keberagamaan Danah Zohar yang didasarkan pada visi teologisnya bersifat dwieka pula. Penghayatan keagamaan bersifat pribadi sekaligus kolektif. Kebersamaan religius inilah yang menurut Zohar merupakan kelanjutan evolusi semesta di masa depan.
Kebersamaan religius ini bersumber ketidaksadaran kolektif yang menurut Carl Gustaf Jung tertanam dalam-dalam di bawah kesadaran pribadi. Sedangkan bagi Zohar, ketidaksadaran kolektif religius itu tak lain dari eksitasi vakum. Jadi evolusi semesta berjalan dari vakum kembali menuju ke vakum.
Akhir-akhir ini fisika modern itu dikenal di kalangan umum dengan julukan fisika baru. Ini dipicu oleh buku THE TAO OF PHYSICS (1976) karangan fisikawan Fritjof Capra. Dalam buku ini, Capra menunjukkan kesejajaran antara deskripsi para mistikus Timur tentang realitas dengan deskripsi fisikawan Barat modern tentang realitas kuantum.
Tentu saja hal ini menggemparkan dunia intelektual Barat. Soalnya, menurut kebanyakan ilmuwan, agama, apalagi mistisisme, adalah sesuatu yang subyektif dan, karenanya, sama sekali di luar obyektifitas sains. Karena itu, mencampur adukkan konsep-konsep dari kedua bidang pengetahuan itu adalah suatu yang ganjil kalau tidak dapat dikatakan tabu. Fritjof Capra melanggar tabu itu dan memperoleh keuntungan material dengan larisnya buku tersebut.
Itulah sebabnya menjamurnya buku-buku yang mengkaitkan fisika baru dengan agama-agama ketimuran yang segera menjadi buku-buku baku bagi penganut gerakan keagamaan Zaman Baru yang cenderung menghayati agama secara subyektif dan sinkretis lepas dari kelembagaan agama-agama yang resmi.
Tentunya hal itu menimbulkan reaksi keras di kalangan agamawan formal yang cenderung mengkafirkan penganut gerakan Zaman Baru yang marak di tahun 80-an itu. Tetapi untunglah arus bawah pemikiran budaya tandingan itu kini mulai muncul di permukaan aliran pemikiran Barat kontemporer sehingga kosakata fisika kuantum akhirnya memperkaya khazanah pemikiran teologis Barat.
Salah satu tokoh yang mempopulerkan fisika kuantum sebagai paradigma pembaruan pemikiran kebudayaan yang bersifat holistik adalah Danah Zohar seorang murid perempuan dari David Bohm sang fisikawan kuantum kondang dari Inggris yang terkenal karena pandangannya yang merombak dogma positivisme yang banyak dianut oleh ilmuwan Barat pada umumnya.
Strategi Danah Zohar berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Fritjof Capra. Jika Capara menitik beratkan uraiannya dengan kesejajaran psikologi mistik Timur, yang langka dan asing itu, dengan fisika modern Barat, maka Zohar justru menohok langsung ke pengalaman sehari-hari manusia awam.
Dia tidak menunjukkan sekedar kesejajaran, tapi dia justru mencoba menerangkan fenomena kejiwaan dengan fisika kuantum, walaupun secara kualitatif saja. Itulah yang dilakukannya dengan menulis dan menerbitkan THE QUANTUM SELF (1991). Ujung dari uraiannya yang menawan dalam buku ini adalah bab terakhir yang berjudul The Quantum World-view. Bab ini adalah mahkota bagi bab sebelumya yang berjudul The Quantum Vacuum and The God Within.
Dalam bab ini, Danah Zohar tampaknya mencoba menyerasikan pandangan kuantum dengan pandangan teologis agama-agama resmi dunia Barat. Dengan bab ini dia berharap konotasi negatif bahwa pandangan kuantum hanya cocok bagi kaum antikemapanan seperti gerakan Zaman Baru dapat dihilangkan.
Soalnya, jika alergi para agamawan terhadap serbuan virus pikiran bernama kuantum itu tidak ditanggulangi, maka kesempatan pandangan kuantum untuk memecahkan persoalan-persoalan sosial-budaya modern yang dibawa oleh globalisasi pandangan materialisme mekanistik Barat akan lenyap dari pentas sejarah masa depan.
Padahal, pergeseran paradigmatik fisika biasanya justru mendorong reformasi total diberbagai kehidupan. Contohnya adalah pandangan mekanistik fisika klasik Newton yang merombak struktur sosial dan budaya feodalistik Eropa abad pertengahan dan melahirkan peradaban Barat modern yang kini sedang menghadapi krisis.
Salah satu pergeseran paradigmatik itu adalah pergeseran paradigma teologis yaitu pandangan konseptual manusia tentang Tuhan dan penciptaan. Perubahan pandangan ketuhanan ini mengikuti perubahan pandangan manusia tentang hakekat alam semesta dan hakekat kesadaran manusia yang dibawa oleh revolusi kuantum.
Revolusi kuantum memang dahsyat karena dia telah melahirkan komputer dan internet yang jantungnya adalah mikroprosesor yaitu kumpulan jutaan transistor dalam satu cip. Namun bagi Zohar yang penting bukanlah revolusi teknologis yang dibawanya, tetapi revolusi filosofis yang digaungkannya dibidang-bidang keilmuan lainnya.
Inti dari bab teologis buku Zohar ini adalah kenyataan bahwa menurut pandangan kuantum bahwa vakum atau kehampaan itu bukanlah kosong sama sekali tetapi penuh dengan energi murni walaupun tak ada partikel ataupun medan fisik satupun di dalamnya.
Lautan energi tak berhingga ini justru mengandung riak-riak kecil, atau fluktuasi kemunculan dan lenyapnya partikel , yang oleh satu dan lain hal pada satu saat salah satu riak itu menggelombang dan menggelembung membentuk semesta raya yang kita huni sekarang ini. Awal penggelembungan itu lah yang sekarang kita kenal sebagai fenomena Big Bang atau Dentuman Besar yang mengawali terciptanya jagat raya.
Bagi Zohar, ketiadaan partikel dan medan dalam vakum ini menyebabkan vakum mempunyai karakteristik yang serupa dengan karakteristik kuantum cahaya yaitu sejenis partikel boson. Padahal, pada bab-bab sebelumnya dia mencoba meyakinkan pembaca bahwa kesadaran manusia terletak pada proses kondensasi Bose-Einstein yang terjadi pada sel-sel syaraf otak manusia.
Kondensasi Bose-Einstein adalah peristiwa menyerasinya atau koherensi semua gelombang keberadaan suatu partikel boson. Peristiwa itu terjadi misalnya pada pada gelombang cahaya yang kita kenal sebagai sinar laser.
Kesamaan karakteristik ini menyebabkan Zohar menghipotesakan adanya kesadaran semesta yang dimiliki oleh vakum. Oleh karena itu dia menganggap kesadaran setiap manusia tak lain daripada pancaran kesadaran semesta vakum tersebut. Soalnya, kesadaran manusia bagi Zohar tak lain dari pada kondensasi foton pada sel-sel saraf di otak manusia.
Bagi Zohar, kesadaran manusia adalah suatu sistem kompleks yang terbentuk melalui suatu proses yang sangat panjang yang dikenal sebagai evolusi biologis. Evolusi biologis sendiri merupakan kelanjutan dari proses yang jauh lebih panjang yaitu evolusi kosmologis. Sedangkan evolusi kosmologis bermula pada suatu peristiwa yang dikenal sebagai dentuman besar atau big bang diikuti oleh ekspansi ruang semesta.
Pada akhirnya peristiwa big bang itu sendiri berasal dari fluktuasi vakum yang memunculkan dua jenis partikel elementer yaitu fermion dan boson yang masing-masing dijuluki sebagai batu bata materi dan batu bata kesadaran.
Jika vakum merupakan kesadaran semesta dan kesadaran individual manusia sebagai peristiwa kuantum adalah puncak evolusi sebagai pancaran kesadaran vakum, maka tentunya esensi kehidupan biologis makhluk bukan manusia juga merupakan proses kuantum juga. Memang begitu keyakinan Zohar.
Soalnya, justru penemuan Frohlich tentang adanya kondensasi Bose Einsten dalam sel-sel organisme yang menyebabkan ia percaya bahwa peristiwa yang sama terjadi pada sel-sel saraf di otak manusia. Keyakinannya yang lain lain adalah tentang pentingnya fenomena kuantum dalam proses evolusi.
Seperti kita ketahui, ada dua mekanisme dasar evolusi yaitu variasi atau peragaman acak dan seleksi atau penyaringan alamiah. Esensi dari peragaman itu adalah keacakan dan ini, bagi Zohar, tak beda dengan esensi keadaan sistem mikroskopik menurut mekanika kuantum. Sedangkan esensi penyaringan alamiah adalah pemilihan, oleh lingkungan, satu ragam dari banyak ragam yang mungkin.
Ini tak beda dari proses pemilihan satu keadaan kuantum dari banyak keadaan yang mungkin dalam proses pengukuran sistem kuantum. Kombinasi dari ketakpastian dan kepastian kuantum itulah yang menurut Zohar merupakan esensi dari proses kesadaran manusia.
Kalau fluktuasi vakum, dentuman besar, evolusi jagatraya, evolusi biologis dan proses kesadaran manusia adalah satu kesinambungan dan kesatuan, maka di mana letak Tuhan dalam visi kuantum yang dijajakan Danah Zohar ini? Di sinilah letak revolusi teologis yang ditawarkan Zohar. Irama antara ketidakpastian dan kepastian dalam waktu yang mendasari semua proses disebut terdahulu itu tidak lain dan tidak bukan, menurut Zohar, adalah intisari dari kreativitas Tuhan Yang Maha Pencipta.
Dentuman besar adalah awal dari proses kreasi. Proses evolusi dari yang kosmologis hingga yang psikologis adalah kelanjutan dari proses Kreasi Ilahiah itu sendiri. Dengan sendirinya proses sejarah manusia sebagai bagian dari proses evolusi semesta juga merupakan proses Ilahiah.
Dengan visi kuantum yang teologis ini Tuhan bersifat imanen. Pandangan ini bukanlah pandangan baru. Banyak para mistikus dari berbagai agama meyakininya. Banyak para filosof mencoba memberikan landasan rasional logis bagi keyakinan ini. Bahkan beberapa diantara para penemu fisika modern itu sendiri, seperti misalnya Albert Einstein, meyakininya. Namun, seperti kita ketahui, pandangan ini kebanyakan ditentang oleh para pemuka agama formal terutama dalam tradisi keagamaan Ibrahimiah.
Apa yang diajukan oleh Zohar ialah kenyataan bahwa pandangan imanensi teologis tidak dapat dihindarkan jika kita mau menerima kebenaran ilmiah yang diberikan oleh fisika kuantum. Dan, bagi Zohar, keyakinan ini tak bertentangan dengan pandangan transendensi teologis. Kedua pandangan teologis itu bukan saling bertentangan tetapi saling lengkap-melengkapi, seperti halnya pandangan gelombang dan pandangan partikel sama-sama benarnya untuk sistem-sistem mikroskopis
Dengan visi teologi kuantum yang holistik ini, Zohar menolak hilangnya individualitas dalam realitas mutlak seperti yang sering dikesankan oleh para mistikus dalam pandangan-pandangannya. Begitu pula ia menolak larinya individu dari realitas sosial seperti yang dikesankan oleh para mistikus dalam praktek-prakteknya.
Individu dan masyarakat adalah aspek-aspek yang komplementer seperti halnya partikel dan gelombang dalam realitas kuantum. Individu itu bagaikan fermion dan hubungan sosial itu bagaikan boson.yang menghubungkan satu fermion dengan fermion lainnya.
Oleh karena itu visi keberagamaan Danah Zohar yang didasarkan pada visi teologisnya bersifat dwieka pula. Penghayatan keagamaan bersifat pribadi sekaligus kolektif. Kebersamaan religius inilah yang menurut Zohar merupakan kelanjutan evolusi semesta di masa depan.
Kebersamaan religius ini bersumber ketidaksadaran kolektif yang menurut Carl Gustaf Jung tertanam dalam-dalam di bawah kesadaran pribadi. Sedangkan bagi Zohar, ketidaksadaran kolektif religius itu tak lain dari eksitasi vakum. Jadi evolusi semesta berjalan dari vakum kembali menuju ke vakum.