Menghancurkan Bom Nuklir dengan Sinar Neutrino dan Proton

LOS Alamos archive-suatu database fisika berisi perkembangan terakhir penelitian fisika-awal Mei memuat makalah tiga orang Jepang yang bekerja di Universitas Hawaii serta laboratorium KEK di Tsukuba, Jepang. Judulnya spektakuler: Destruction of Nuclear Bombs Using Ultra-High Energy Neutrino Beam atau Pemusnahan Bom-bom Nuklir dengan Menggunakan Berkas Neutrino Berenergi Tinggi.
MINAT fisikawan dunia terhadap neutrino memang meningkat, terutama setelah penelitian Super-Kamiokande di Jepang tahun 1998 berhasil membuktikan bahwa neutrino memiliki massa.
Ketiga peneliti Jepang di atas, lewat perhitungan relatif sederhana namun beralasan, mengusulkan dua skenario untuk melindungi negara dari musuh bersenjata (bom) nuklir (lihat gambar 1).
Pada skenario pertama, bom-bom nuklir yang disimpan di atas dan di bawah tanah dapat dihancurkan d engan sinar neutrino yang ditembakkan menembus perut bumi.
Skenario kedua untuk menghancurkan rudal-rudal yang memiliki hulu-ledak nuklir yang sudah diluncurkan. Untuk kasus ini, berkas proton yang lebih mudah diproduksi dapat digunakan.
Partikel hantu
Neutrino semula dianggap sebagai partikel hantu karena tidak memiliki massa dan muatan. Neutrino pertama diperkenalkan sebagai partikel hipotetik oleh Wolfgang Pauli tahun 1931 karena Pauli mengamati ketidakkonsistenan konservasi energi dan momentum pada peluruhan radioaktif.
Pauli menyatakan, energi dan momentum yang hilang dari proses tersebut dibawa oleh partikel yang tidak memiliki muatan dan tidak memiliki massa sehingga tidak dapat diamati dengan eksperimen.
Ramalan Pauli didukung Enrico Fermi, yang kemudian mengembangkan teori peluruhan radioaktif yang lebih komprehensif, yang hanya dapat dikembangkan dengan neutrino.
Dua puluh delapan tahun kemudian Clyde Cowan dan Fred Reines berhasil membuktikan eksistensi neutrino melalui percobaan pada tangki berisi 200 liter larutan CdCl2.
Di dalam tangki, berkas anti-neutrino dari reaktor nuklir ditangkap proton yang kemudian berubah menjadi neutron dan positron. Sejak itu keberadaan neutrino bukan lagi sebatas hipotesis. Massa neutrino yang sama dengan nol mendorong penelitian lebih jauh.
Tahun 1985 sekelompok peneliti dari Rusia untuk pertama kali mengklaim telah mengamati massa neutrino yang tidak nol, kira-kira lebih kecil dari sepersepuluh ribu massa elektron. Sayang, eksperimen yang dilakukan di tempat yang berbeda tidak berhasil membuktikannya.
Baru 1998-melalui eksperimen dengan detektor Super-Kamiokande yang menggunakan tangki berisi 50.000 ton air murni dan diletakkan sekitar 1.000 meter di bawah permukaan bumi-dibuktikan bahwa neutrino memiliki massa. Namun, eksperimen itu tetap tidak dapat mengukur massa neutrino.
Neutrino tidak hanya dihasilkan reaktor nuklir. Matahari serta bintang-bintang yang masih bersinar juga memancarkan neutrino. Demkian juga radiasi sinar kosmik yang membombardir atmosfer Bumi. Jadi, pada siang hari Bumi dihujani oleh neutrino dari atas dan pada malam hari neutrino menembus tubuh manusia dari bawah kasur.
Untunglah neutrino tidak bermuatan dan bermassa kecil sekali sehingga tidak sempat berinteraksi dengan atom-atom penyusun sel tubuh. Kalaupun terjadi, maka proses tersebut sangat jarang.
Bom nuklir fisi
Rancangan bom nuklir tentu saja sangat dirahasiakan dan tidak pernah dipublikasikan. Namun, prinsip dasar sebuah bom nuklir dapat ditemukan di beberapa buku fisika nuklir.
Bagan sederhana bom nuklir implosif yang diperlihatkan pada gambar 2, merupakan salah satu bahan kuliah pendahuluan fisika nuklir pada mahasiswa fisika tingkat tiga.
Gambar tersebut menunjukkan bahan peledak nuklir dikelilingi peledak konvensional (TNT), yang didesain khusus agar ledakannya menghasilkan gelombang kejut.
Untuk menghasilkan ledakan nuklir optimal, detonasi dari peledak konvensional harus disinkronkan dengan reaksi fisi. Ini agar ledakan TNT menghasilkan gelombang kejut untuk menekan Plutonium-239 ke kondisi superkritis, di mana reaksi fisi dapat membiakkan lebih dari satu netron. Hal ini merupakan bagian tersulit bom nuklir. Netron kemudian dilepas initiator untuk memulai reaksi berantai.
Selubung Plutonium-238 yang menutupi bahan peledak Plutonium-239 berguna untuk mengembalikan netron yang keluar dari inti bom, dapat juga menghasilkan netron-netron tambahan melalui reaksi fisi yang dipicu oleh netron-netron cepat yang bergerak keluar dari inti bom. Proses-proses tersebut terjadi begitu singkat, dengan periode nano-detik.
Jika bom nuklir dapat diledakkan optimal maka untuk ledakan setara dengan 20.000 ton TNT, dibutuhkan plutonium 10 kg saja. Dengan berat tersebut diameter plutonium hanya sekitar 10 cm.
Bersama dengan selubung TNT, bom ukuran ini sedikit lebih besar dari bom teroris pada film-film Hollywood. Meski ukurannya relatif kecil, hasil ledakan sangat dramatis.
Pada jarak 2 km dari pusat ledakan tekanan bertambah sekitar 0,25 atm. Perubahan tekanan ini dapat menghancurkan bangunan dari kayu dan menerbangkan serpihan dengan kecepatan 150 km/jam.
Pada jarak 2 km dari pusat ledakan terjadi gelombang panas yang dapat membakar kulit dan menyulut (menyalakan) benda yang mudah terbakar. Selain itu kombinasi gelombang panas dan angin mengakibatkan badai api dengan kecepatan 75-150 km/jam.
Akibat lain adalah radiasi netron dan sinar gamma yang dapat menyebabkan leukemia, kanker, dan kerusakan genetik.
Menghancurkan bom nuklir
Ide dasar penghancuran bom nuklir adalah menembakkan berkas neutrino berenergi sangat tinggi yang dapat menembus lokasi bom nuklir di dalam Bumi untuk memicu reaksi fisi.
Untuk itu dibutuhkan berkas neutrino berenergi paling tidak 1000 TeV (Tera atau triliun electron Volt), dengan satu electron Volt adalah energi yang diberikan oleh beda potensial satu Volt pada sebuah elektron. Tentu saja angka tersebut belum pernah dicapai eksperimen mana pun.
Kalaupun ingin membuat eksperimennya maka dibutuhkan sebuah akselerator muon sepanjang 1.000 km dengan magnet berkekuatan 10 Tesla.
Jika angka-angka tersebut tidak menjadi masalah untuk direalisasi, biaya yang harus dikeluarkan tak kurang dari 100 triliun dollar AS.
Fantastisnya angka-angka tersebut membuat pencetus ide ini memperkirakan tidak akan ada satu negara yang sanggup membuat pemusnah bom nuklir. Kecuali jika seluruh negara dunia bersatu.
Bagaimana cara kerjanya? Untuk membuat neutrino dengan energi 1.000 TeV diperlukan sebuah cincin penyimpan muon (muon storage ring). Pada cincin tersebut partikel muon (yang bermuatan) dipercepat pada energi tertentu sehingga meradiasikan neutrino dengan energi yang diinginkan.
Neutrino dengan energi ini tentu amat berbahaya, karena radiasi yang dihasilkan dapat mencapai 1 Sievert per detik. Bandingkan dengan radiasi latar belakang yang diterima manusia dari alam, hanya berkisar 1 milli Sievert per tahun.
Neutrino kemudian diarahkan ke bagian inti bom nuklir, yaitu elemen Plutonium-239. Sebelum memasuki inti Plutonium-239 neutrino tersebut akan menghasilkan pancaran (shower) hadron yang akan memicu reaksi fisi di dalam Plutonium-239.
Patut diingat bahwa ledakan bom nuklir akan efektif jika proses reaksi fisi yang berantai disinkronisasi dengan ledakan TNT pembungkus bom tersebut. Ada kemungkinan bom nuklir tidak akan meledak secara efektif, karena pada proses ini TNT meledak setelah reaksi fisi berjalan dan temperatur TNT di atas 250°C.
Pada kenyataannya, hasil perhitungan ketiga penulis memperlihatkan bahwa dengan menggunakan berkas neutrino berkekuatan 1000 TeV, bom nuklir akan meledak dengan kekuatan hanya tiga persen dari kekuatan penuh. Tentu saja penurunan daya ledak sangat diinginkan, mengingat penghancuran bom nuklir harus diusahakan se"aman" mungkin meski tampaknya mustahil.
Pada rudal nuklir yang telah diluncurkan, penulis makalah mengusulkan penggunaan berkas proton karena proton dapat ditembakkan langsung di tempat terbuka.
Untuk menghasilkan berkas proton, sebuah akselerator proton yang jauh lebih sederhana dibanding cincin penyimpan muon, dapat ditempatkan pada sebuah satelit. Karena proton adalah partikel masif, energi yang dibutuhkan hanyalah sekitar 100 GeV (Giga electron Volt).
Proses selanjutnya sama dengan skenario pertama. Masalahnya adalah bagaimana menempatkan akselerator proton pada sebuah satelit atau pesawat ulang-alik, karena akselerator lazimnya punya berat ratusan atau bahkan ribuan ton. Namun, jika teknologi pemercepat dengan menggunakan laser atau plasma sudah dikuasai, dimensi akselerator dapat direduksi sehingga hal di atas tidak lagi jadi kendala.
Sebagai kesimpulan, meski proposal yang diajukan oleh ketiga penulis tersebut bukanlah hal nonsense, teknologi dan biaya yang diperlukan masih jauh dari yang tersedia saat ini. Saat teknologi dan biaya bukan lagi kendala, dunia mungkin akan memasuki era perang baru yang tidak sekonvensional perang nuklir.

by Terry Mart Fisika UI
Diterbitkan di Kompas (16 Juni 2003)