Dari Fisika Kemana-mana

SATU dekade ke depan, manusia terkaya di dunia boleh jadi bukan lagi Bill Gates. Calon penggantinya bukan seorang computer nerd atau venture capitalist, melainkan fisikawan muda jenius bernama Stephen Wolfram. Ia baru saja menggemparkan jagat keilmuan dengan menerbitkan dan meluncurkan sendiri magnum opusnya setebal 1.200 halaman lebih berjudul The New Kind of Science (TNKS).
Menurut sejumlah pembaca awal di situs Amazon.com, buku ini dalam magnitude dan gaya provokasinya dianggap setara dengan The Origin of Species-nya Charles Darwin dan Das Kapital-nya Karl Marx.
Yang luar biasa, Wolfram juga wirausahawan tulen yang piawai memasarkan dan menjual temuan-temuannya ke dunia bisnis yang makin knowledge intensive. Sebagai multijutawan dollar barangkali ia merupakan ilmuwan terkaya di dunia. Dengan kekayaan itu, ia mendanai sendiri riset-risetnya sambil menjadi CEO bagi perusahaannya dengan ratusan karyawan.
Dalam komunitas fisika, sejumlah tokoh tak ragu mengatakan kehebatan Wolfram setara dengan dewa-dewa terpenting fisika seperti Galileo, Newton, dan Einstein. Jika Galileo dikenang dengan Teori Pergerakan Planet, Newton dengan Teori Gravitasi, dan Einstein dengan Teori Relativitas, maka Wolfram dengan Cellular Automata.
Dengan perkakas ini, Wolfram mengklaim dapat memecahkan semua problem fisika abad ke-20 yang sampai kini masih misterius seperti soal relasi gaya-gaya elektromaknetik dan gravitasi. Dengan demikian cellular automata boleh jadi akan memenuhi impian suntuk Einstein- yang tak kesampaian hingga akhir hayatnya-akan adanya teori gabungan (unified theory of everything) yang mampu menjelaskan semua fenomena alam dan kosmos itu sendiri.
Namun, cellular automata lebih ambisius dari impian tertinggi Einstein. Bukan saja di bidang fisika, perkakas Wolfram ditengarai dapat menjelaskan serta memecahkan berbagai masalah fundamental dalam biologi, matematika, kimia, computer science, bahkan wilayah-wilayah lain yang secara tradisional dianggap di luar pengaruh fisika seperti sosiologi, psikologi, ekonomi, juga teologi, seni, dan filsafat.
***
APAKAH cellular automata itu? Sederhananya, cellular automata adalah sehimpunan proses fundamental peciptaan pola-pola keteraturan dengan menggunakan komputer (computer-generated ordering process) yang bentuk akhirnya sangat menyerupai apa yang terjadi di alam. Program komputer Wolfram ini mengambil input data yang tidak teratur (bahkan chaos), lalu diproses menggunakan sejumlah Aturan Wolfram, dan akhirnya menghasilkan output gambar yang sangat mengagumkan baik pola, kompleksitas, maupun derajat keteraturannya di layar komputer.
Dalam bukunya yang dipenuhi ratusan gambar itu, Wolfram menunjukkan proses terciptanya berbagai bentuk pola-pola yang kompleks seperti kristal es, bunga-bungaan, dedaunan, sebaran warna-warni bulu burung merak, spiral galaksi, turbulensi air deras, jaringan sirkuit otak manusia, badai topan, kulit kerang, lekak-lekuk sungai, pokoknya berbagai macam bentuk output dari sistem operasi alam semesta.
Wolfram berpendapat bentuk-bentuk yang dihasilkan oleh cellular automata itu bukan sekadar replika kebetulan dari fitur-fitur yang ditemui di alam, tetapi sekaligus dapat menjelaskan bagaimana alam bekerja pada tingkat paling fundamental. Karena itu, Wolfram tak ragu berpendapat, program cellular automata akan menjadi metoda paling ampuh yang dikenal umat manusia hingga kini, untuk memecahkan rahasia alam, sekaligus menjelaskan arsitektur jagat raya dan evolusi segenap bentuk kehidupan di dalamnya. Wolfram bahkan menengarai semesta alam ini tidak lain adalah sebuah mahakomputer alami yang berperilaku sebagai sebuah super cellular automata.
Di tingkat praktis, tidak saja celluar automata akan merevolusi jagat sains secara radikal, tetapi Wolfram juga menjanjikan terbukanya pintu gerbang lebar bagi lahirnya sejumlah besar teknologi baru dalam waktu segera seperti komputer kuantum, supermikroteknik pada skala atom, desain serta reparasi bagian-bagian jaringan dan organ tubuh, materi baru, dan obat-obatan baru yang lebih ajaib khasiatnya. Sungguh fantastis!
***
SIAPA gerangan sang jenius ini? Lahir tahun 1959 di London, Stephen Wolfram adalah a new kind of physicist. Ketika masih sekolah menengah di Eaton, Inggris, ia belajar sendiri fisika tingkat advanced pada usia 12 tahun. Saat umurnya baru 15 tahun makalahnya di bidang fisika teori sudah muncul di jurnal fisika.
Tak betah belajar dari guru dan dosen-menurut dia terlalu lamban-ia lalu melahap berbagai buku teks kelas berat ketika teman seusianya masih sibuk bermain Halloween dan bercinta monyet.
Pertama kali kuliah di Oxford, ia masuk semester satu. Sangat tidak menarik baginya, ia langsung menghadiri kuliah semester enam. Juga tidak cukup menarik, ia lalu memutuskan tidak pernah masuk kelas lagi. "Saya dapat mengetahui berbagai hal jauh lebih cepat dan lebih mendalam dengan membaca daripada mendengar dosen ngomong," begitu alasannya menyebut kuliah sebagai kegiatan buang waktu.
Hebatnya, ia mampu menghasilkan puluhan makalah di bidang kosmologi dan fisika partikel yang dimuat pada jurnal-jurnal fisika kelas tinggi. Tidak sampai tamat S1 dari Oxford, ia langsung direkrut oleh raksasa fisika peraih nobel dari California Institute of Technology (Caltech), Murray Gell-Man, tahun 1978. Wolfram langsung masuk program doktor. Di kampus ini, di mana Richard Feynman, fisikawan legendaris lainnya bermukim, Wolfram juga tampak kurang tertantang. Agar ia betah, maka program doktor khusus diberikan padanya. Dalam tempo setahun saja, ia mendapat PhD pada usia 20 tahun tanpa harus membuat disertasi, tetapi cukup membundel ulang enam makalah terbaiknya.
Pergaulan intelektual tingkat tinggi antara doktor remaja Wolfram dengan fisikawan dewa sekelas Feynman dan Gell-Man tampaknya sanggup membuatnya kerasan selama 10 tahun di Caltech. Tapi, akhirnya ia bentrok juga dengan administratur institut itu perihal komersialisasi temuan-temuannya.
Usia 31, ia diterima di Kampus Einstein yang legendaris, the Institute for Advanced Studies di Princeton. Wolfram tercatat sebagai anggota termuda institut itu sepanjang sejarah. Tapi, kampus penelitian paling bebas di dunia ini pun ternyata tidak sanggup menyediakan ruang bagi kebebasan gerak dan independensi intelektual yang dituntut Wolfram.
Akhirnya tahun 1986 ia mendirikan Wolfram Research Inc, institusi penelitian pribadinya. Di sinilah ia menggabungkan bisnis dan riset secara bebas yang berpuncak pada lahirnya mahakarya TNKS yang menggemparkan itu. Dalam rangka mengembangkan TNKS, Wolfram harus pula mengarang Mathematica-sebuah sistem software yang digunakan untuk keperluan komputasi teknikal dan pemrograman simbolik (symbolic manipulation programming)-terlebih dahulu, yang sama raksasa bobotnya dengan TNKS itu sendiri. Ini persis seperti Newton yang harus mengarang dulu kalkulus diferensial agar bisa menjelaskan gravitasi dan Einstein yang harus mengonstruksi dulu sebuah aljabar empat dimensi agar bisa menjelaskan relativitas.
Bedanya, kedua pendahulu Wolfram itu cuma ilmuwan murni yang hidup dari dana negara sedangkan Wolfram sekaligus entrepreneur kawakan yang jago mencetak duit gede dalam setiap langkahnya menuju puncak sains tertinggi.
***
KISAH Wolfram tampaknya tak pernah dibayangkan orang ketika memikirkan fisika. Bagi awam, fisika adalah ilmu esoteris yang tak jelas manfaat praktisnya. Sarjana fisika biasanya kere tak berduit. Pekerjaan mereka paling-paling jadi dosen.
Otak mereka dipenuhi atom-atom, galaksi-galaksi, dan persamaan-persamaan matematika yang eksotis, tetapi kantung mereka enggak gaul. Wacana mereka makro-makro tapi dompet super mikro. Konon Einstein sendiri pun pernah mengatakan, "Science is a wonderful thing if one does not have to earn one's living at it."
Alhasil, citra fisikawan memang jauh dari menarik. Sampai hari ini pun fisika tidak pernah menjadi pilihan utama bagi kebanyakan mahasiswa cerdas namun tetap ingin hidup keren berkecukupan.
Sekitar tiga dekade lalu, jurusan fisika ITB bahkan harus menawarkan beasiswa bagi siapa saja yang bersedia masuk fisika jika lulus ujian masuk. Banyak input jurusan fisika saat itu merupakan mahasiswa kere. Sebagian lagi, terjebak oleh citra di atas, lalu hengkang dan testing ulang ke jurusan teknik.
Memang ada juga minoritas yang hebat otaknya, termotivasi oleh the beauty of physics itu sendiri, menganggap mencari duit sebagai kegiatan yang inferior, memutuskan mendalami fisika sampai ke tulang sumsum. Namun, makhluk seperti ini dianggap aneh oleh masyarakat.
Orangtua pun biasanya tidak mengizinkan anaknya memilih fisika.
Bahkan, seorang ibunda Evelyne Mintarno pun, yang anaknya berhasil menjadi satu-satunya peserta putri dari Indonesia dalam Olimpide Fisika 2002 di Bali, belum merelakan putrinya memilih fisika karena terbelenggu anggapan fisikawan hanya bisa jadi guru. Padahal putrinya yang hebat itu, selain meminati sungguh fisika sudah diterima di universitas bergengsi, Stanford. (Kompas, 24/7)
***
KIPRAH para fisikawan sesungguhnya tidaklah sesempit menjadi dosen saja. Ilmu fisika yang selalu terobsesi dengan perkara-perkara fundamental, perumusan dan pemecahan masalah secara elegan, dengan disiplin berpikir yang rigor konseptual, sebenarnya lebih dari cukup sebagai bekal hidup penuh makna, termasuk hidup makmur kalau mau. Sisanya adalah minat, ambisi, dan etos kerja.
Selain menjadi peneliti dan guru, banyak sarjana fisika Indonesia akhirnya menjadi eksekutif bisnis (seperti Harianto Mangkusasono dan Charlo Mamora, terakhir keduanya menjadi konsultan pengembangan dan transformasi bisnis), rohaniwan (seperti Pater Drost), ekonom (seperti Rizal Ramli dan Umar Juoro, meskipun keduanya tidak menamatkan fisika), dan terbanyak menjadi profesional di berbagai bidang (misalnya IT, perminyakan, elektronika, otomotif, pers, SDM, pertambangan, perbankan) termasuk menjadi wiraswastawan. Intinya, dari fisika orang bisa ke mana-mana, tergantung minat, stamina juang, dan sekali lagi etos kerja.
Ke depan, seiring dengan munculnya fenomena Wolfram di atas, dapat diharapkan semakin banyak orang-orang muda yang terinspirasi menjadi fisikawan-hartawan. Mengapa tidak? Dalam dunia di mana kapitalisme global semakin meraja, semakin diperlukan sumbangan berbagai jenis inovasi berbasis fisika untuk menciptakan business value yang hebat-hebat.
Wolfram membuktikan, meraih kemakmuran tidak berarti mengorbankan ilmu, atau sebaliknya, berilmu tinggi tidak harus jadi miskin. Wolfram mendemonstrasikan sebuah paradigma baru. Menjual fisika untuk uang, dengan uang mendanai riset fisika, dan dengan uang cukup mampu memperoleh independensi berkarya, dengan sebuah side effect yang tak kalah menarik: hidup enak dan bermartabat.
Salah satu problem besar fisikawan murni Indonesia (ilmuwan berbasis universitas umumnya) ialah mengkotakkan diri dalam ruang sempit penelitian. Mengemis dana penelitian dari birokrat yang tak paham penelitian. Lalu mendapatkan dana superkecil dari anggaran negara yang memang tak peduli penelitian. Kemudian dipotong sana-sini oleh oknum siluman. Maka, jadilah penelitian jadi-jadian. Hasilnya? No money, no science, no dignity!
Saya setuju dengan pendapat Rektor ITB Kusmayanto Kadiman, bahwa ITB belum saatnya disebut a research university. Meskipun ada kontroversi di balik kisah Wolfram di atas, satu hal positif sudah jelas, ilmuwan jenis baru harus mampu menggabungkan tiga peran sekaligus: peneliti, marketer, dan eksekutif.
Saat negeri ini carut-marut dan tak punya uang, semakin absurd rasanya mengharapkan dana riset dari negara. Mungkinkah para ilmuwan kita meniru gaya Wolfram mencetak uang dengan dan dari ilmu mereka? Tantangan ini lebih relevan buat Indonesia, karena metoda favorit dalam mencari uang yang dipakai para pemegang kekuasaan di lembaga-lembaga negara kita-seperti diberitakan koran tiap hari-ialah main injak dan terkam warisan era-Ken Arok.
Padahal kata orang, kini era knowledge economy, di mana wealth creation akan lebih mengandalkan kreativitas, inovasi teknologi, dan pengetahuan intensif seperti didemonstrasikan Bill Gates dan Stephen Wolfram; dan bukan tanah, ternak, atau mesin, let alone brute power.
Kalau ilmuwan-ilmuwan kita masa kini tidak bisa berkiprah lain daripada apa yang lazim dan zalim di masa lampau, tampaknya satu-satunya harapan kita ialah pada tunas-tunas belia yang bertarung di Olimpiade Fisika minggu lalu. Untuk mereka, selamat dan semoga jaya.
Untuk panitia dan tim pelatih, terima kasih atas visi, kontribusi, dan dedikasi Anda.
Jansen H Sinamo, Alumnus fisika ITB 1983; kini sedang mendalami dan meneliti teori etos kerja di Institut Darma Mahardika, Jakarta.